Harapan untuk Kurikulum Baru
Oleh Paul Suparno
Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengungkapkan bahwa akan ada perubahan
kurikulum. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang kini sedang
berlangsung—meski baik—dianggap kurang cocok dengan zamannya, maka perlu
diperbarui (Kompas, 5/9).
Apa yang
diharapkan dari kurikulum baru? Kurikulum baru idealnya memperhatikan minimal
konteks anak zaman yang mau dibantu, kritik pendidikan yang banyak muncul
terhadap Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) saat ini, dan kebutuhan
bangsa ke depan.
Konteks anak
zaman
Anak
sekarang termasuk anak generasi Z (generation net). Mereka kebanyakan sudah
terbiasa berkomunikasi menggunakan internet, Facebook, Twitter, Blackberry.
Mereka hidup dalam budaya serba cepat sehingga tak tahan dengan hal-hal yang
lambat. Mereka anak-anak budaya instan yang serba ingin berhasil dalam waktu
cepat dan kalau bisa tanpa usaha keras.
Anak-anak
ini butuh model pendekatan dan model belajar yang berbeda. Mereka sudah
terbiasa dengan internet, maka model pembelajaran harus menggunakan teknologi
modern itu. Kalau tidak, mereka akan bosan.
Mereka sudah
sering mengerjakan berbagai persoalan dalam satu waktu. Kalau mereka
mengerjakan PR, mereka sekaligus juga membuka laman lain, sambil masih bicara
dengan teman lewat HP dan chatting dengan teman lain lagi lewat Facebook.
Perhatiannya
biasa terpecah dalam berbagai hal. Dalam mempelajari suatu bahan mereka tak mau
urut, kadang dari belakang, kadang dari tengah, kadang dari muka. Ini berarti
model pendekatan linear sudah kurang tepat bagi mereka. Perlu dicarikan
model-model yang berbeda.
Kemajuan
teknologi internet dan media menjadikan anak sekarang dipenuhi berbagai
informasi dari segala penjuru dunia. Di tengah kekacauan informasi dan nilai
ini mereka dituntut lebih punya keterampilan menganalisis secara kritis,
memilih secara bijak, serta mengambil keputusan bagi hidupnya. Maka, ke depan,
kurikulum, model dan cara pembelajaran harus mampu membantu anak menganalisis
secara kritis, memilih, dan mengambil keputusan dalam hidup.
Karena guru
bukan lagi satu- satunya sumber belajar dan pengetahuan, sikap anak terhadap
guru pun berubah. Guru bukan satu-satunya yang harus dihormati. Maka, sikap
guru pun harus berubah: bukan sebagai orang pinter yang akan menggurui,
melainkan lebih sebagai fasilitator yang menjadi teman belajar. Guru tidak
perlu marah bila kurang didengarkan oleh anak.
Beberapa
kritik terhadap sistem pendidikan kita, terutama level SD hingga menengah,
mengungkapkan bahwa mata pelajaran terlalu banyak, ada 14-16 macam. Jumlah mata
pelajaran yang begitu banyak, dengan jam yang sedikit, menjadikan siswa tidak
terlatih belajar bertekun dan mendalam. Mereka mudah puas pada lapisan atas
saja. Maka, kemampuan mengolah bahan, menganalisis secara kritis bahan, kurang
terjadi.
Pendidikan kita
masih terlalu menekankan segi kognitif. Ini pun masih terbatas pada mencari
nilai angka, bukan kemampuan menganalisis secara kritis dan mendalam suatu
bahan. Akibatnya, nilai karakter sangat dibutuhkan bagi kejayaan bangsa ini
kurang mendapatkan tekanan.
Tujuan
pendidikan pada jenjang SD, SMP, SMA kurang begitu jelas. Sebenarnya apa yang
diharapkan bila anak lulus SD, SMP, dan SMA? Kompetensi atau tujuan yang ingin
dicapai ini perlu jelas, tak terlalu banyak, dan dapat dimengerti oleh siapa
pun.
Kita perlu
sadar, kita mendidik anak Indonesia, bukan manusia dewasa Indonesia. Maka,
tuntutan kepada anak pun harus terbatas. Dalam UU Sisdiknas dan juga dalam
standar pendidikan, anak- anak kita terlalu banyak dituntut sesuatu yang
sebenarnya lebih merupakan tuntutan bagi orangtua. Akhirnya, kalau hal itu
tidak terjadi, kita frustrasi dan anak mengalami beban berat.
Demi
keutuhan bangsa ini, anak-anak bangsa harus rela menerima perbedaan di antara
kita dan belajar hidup dalam semangat perbedaan itu. Maka, semangat
multikultural dan penghargaan kepada tiap-tiap pribadi manusia harus
ditekankan.
Kurikulum ke
depan
Berdasarkan
beberapa analisis di atas, kurikulum baru diharapkan memuat beberapa hal.
Pertama, tujuan yang jelas untuk setiap jenjang SD, SMP, dan SMA. Tujuan ini
harus singkat, sederhana, sesuai jenjangnya, dan mudah dimengerti oleh siapa
pun.
Kedua,
jumlah mata pelajaran perlu dikurangi sehingga anak dapat belajar lebih
mendalam, dapat berpikir lebih kritis.
Ketiga,
pendidikan sikap dan karakter harus dapat tekanan, bukan hanya pengetahuan.
Keempat,
kurikulum yang membantu anak dapat belajar memilih dan mengambil keputusan
dalam levelnya.
Kelima,
kurikulum yang juga menunjang kesatuan bangsa, maka pendekatan multibudaya dan
penghargaan pada nilai manusia mendapatkan tekanan.
Keenam,
metode dan model pembelajarannya disesuaikan dengan situasi anak zaman.
Ketujuh,
bentuk evaluasi, termasuk UN, perlu dikembangkan dengan menekankan kemampuan
berpikir kritis dan bernalar.
0 komentar:
Posting Komentar