LANDASAN HISTORIS TEKNOLOGI PENDIDIKAN
Teknologi Pendidikan muncul
sebagai bidang studi dan kategori jabatan baru pada tahun 1960, tetapi sebelum
itu banyak peristiwa sejarah yang menjadi dasar dari sebuah pondasi Teknologi
Pendidikan secara keseluruhan. Seperti sejarah perkembangan Instruksional atau
pengajaran. Disini penulis akan menuliskan lebih lanjut mengenai sejarah
perkembangan tersebut, menyangkut perkembangan Teknologi Instruksional,
terdapat beberapa pendapat mengenai hal tersebut, mereka membaginya ke dalama beberapa
periode, diantaranya:
1. Periode 1932 – 1959
Brown (1984) membahas
penjelasan yang dikemukakan Seattler sekitar perkembangan Teknologi
Instruksional. Seattler mengemukakan bahwa Teknologi Instruksional memiliki dua
landasan filosofis dan teoritis yang sangat berbeda, yaitu; physical science
dan yang kedua behavior sicence. Seattler menjelaskan bahwa konsep ilmu
pengetahuan alam tentang Teknologi Instruksional biasanya berarti penggunaan
ilmu pengetahuan alam dan teknologi rekayasa, seperti projektor, tape recorder,
televisi dan teaching mekanik untuk menyajikan sekolompok materi instruksional,
cirinya adalah bahwa konsep ini memandang berbagai media sebagai pembantu untuk
mengajar dan berkecendrungan untu lebih memperhatikan alat dan prosedur dari
pada memperhatikan perbedaan individual siswa atau materi pelajaran. Gagasan
yang paling berpengaruh dan berakar pada konsep imu pengetahuan alam tentang
Teknologi Instruksional ialah memasukkan material (audio visual) dan mesin
(proyektor atau gambar hidup. dan mesin (proyektor atau gambar hidup).
2. Periode 1960 – 1969
Beberapa kejadian memberikan
masukan terhadap prgeseran teoritis secara besar besaran berkenan dengan
teknologi intruksional pada akhir tahun 1950 dan awal 1960an, terutama peritiwa
peluncuran sputnik pada tahun 1957 yang mencengangkan dunia. Akibat dari itu,
terutama di Amerika, sekolah dikritik karena kegagalannya mengjarkan science
dan matematika dalam kapaitas yang cukup. Karena itu tekanan lebih di alamatkan
kepada Teknologi Instruksional, akibatnya terdapat dua konstruk teoritis muncul
secar bersamaan yang mempengaruhi lapangan Teknologi Instruksional. Pertama
yaitu pengaruh yang kuat dari aliran behaviorisme terhadap semua pendekatan
belajar dan yang kedua adalah pendekatan sistem sistem yang datang dari teknik
mesin dan teknologi. Gerakan yang berbeda ini akhirnya melahirkan dan saling
melengkapi yang disebut dengan Pengajaran Terprogram. Gerakan kaum behavioris
melahirkan pegembangan tujuan behavioral, karena diperlukan perumusan tingkah
laju lebih lanjut dalam merancang sebuah proses pembelajaran.
3. Periode 1970 – 1983
Mendekati akhir tahun 1970,
muncul kembali pendekatan kognitif dalam pembelajaran. Banyak ahli pikologi
yang mengsulakan hal tersebut, salah satunya Wittrock. Menurutnya penekatan
kognitif berimplikasi bahwa belajar dan pengajaran secara ilmiah akan lebih
produktif bila dipelajari sebagai sesuatu yang bersifat internal, yakni suatu
proses kognitif berperantara dari pada sebagai produk langsung dari lingungan,
orang atau faktor eksternal lainnya.
4. Periode 1983 – muthakir
Pada masa ini berlangsung
kekacau balauan akibat pertengan dari landasan teoritik Teknologi
Instruksional. Perbedaan pendapat ini terutama dialamatkan kepada para perintis
audio Visual. Seperti Salomon, yang menganggap audio visual itu sebagai agen
informasi dan bukan sebagai stimulus yang langsung untuk respon tertentu. Lebih
lanjut mereka berpendapat bahwa media tidak lebih dari kendaraan yang menganku
para ahli ke konfrensi pemecahan masalah dan memberi sumbangan
terhadappemahaman para ahli tentang masalah tersebut. Lebih lanjut dari itu
sejarah perkembangan Teknologi Pendidikan tidak hanya terbatas pada hal
tersebut saja, kita tidak bisa begitu saja melepaskan kaitannya dengan sejarah
perkembangan Teknologi Pengajaran. Beberapa para ahli menyebutnya demikian dan
mereka menjelaskan perkembangan teknologi pembelajaran ke dalam beberapa masa
sejarah, diantaranya:
a. Metode Kaum Sufi
Perkembangan dari berbagai metoda pengajaran merupakan tanda lahirnya
teknologi pengajaran yang dikenal saat ini. Beberapa pendidik pada masa lampau,
yaitu golongan Sufi di Yunani, para ahli pendidikan memandang menduga kaum Sufi
merupakan kaum teknologi pengajaran yang pertama. Mereka menyampaikan pelajaran
dengan berbagai cara dan teknik, mula mula mereka menyampaikan bahan pelajaran
yang telah disampaikan secara matang, kemudian mereka melanjutkan dengan
perdebatan yang dilakukan dengan secara bebas, pada saat itulah proses kegiatan
belajar itu berlangsung. Kemudian jika ada minat dari mayarakat untuk belajar,
akan dibuat kontrak dan untuk kemudian menjadi sistem tutor. Pandangan ajaran
kaum Sufi tersebut di atas didasarkan atas; Bahwa manusia itu berkembang secara
evolusi. Seorang dapat berkembang dengan teratur tahap demi tahap menuju kepada
peradaban yang lebih tinggi. Melalui teknologilah pembelajaran dapat diarahkan
secara efektif. Bahwa proses evaluasi itu berlagsung terus, terutama aspk-aspek
moral dan hukum. Sejarah dipandang sebagai gerak perkembangan yang bersifat
evousi berkelanjutan. Demokrasi dan persamaan sebagai sikap masyarakat
merupakan kaidah umum. Bahwa asas teori pengetahuan bersifat progresif,
pragmatis, empiris dan behavioristik. Gagasan kaum Sufi ini cukup banyak
mempengaruhi kurikulum di Eropa, misalnya penggunaan retorika, dialektika, dan
gramar sebagai materi utama dalam quadrivium dan trivium.
b. Metode Socrates
Bentuk pengajaran lebih ke dalam bentuk berfilsafat, metode yang dipakan
disebut dengan Maieutik atau menguraikan, yang sekarang dikenal dengan nama
metode inkuiri. Pelaksanaannya berlangung dengan cara “take and give of
conversation”. Dengan cara memberikan pertanyaan yang mengarah kepada suatu
masalah tertentu. Pada dasarnya Socrates mengajarkan tentang mencari pengertian,
yaitu suatu bentuk tetap dari sesuatu.
c. Metode Abelard
Metode Abelard ini berlangsung pada masa pemerintahan Karel Agung di Eropa.
Metoda yang di pakai bertujuan untuk membentuk kelompok pro dan kontra terhadap
suatu materi. Guru tidak memberikan jawaban final tetapi siswalah yang akan
menyimpulka jawaban itu sendiri. Metoda ini biasa disebut dengan “Sic et Non”
atau setuju atau tidak.
d. Metoda Lancaster
Metoda Lancerter ini dalam bentuk sistem Monitoring yang merupakan bentuk pengajaran
yang unik, meliputi pengorganisasian kelas, materi pelajaran sesuai dengan
rencanannya yang meningkat dan dikelola secara ekonomis. Lancaster mempelajari
konstruksi kelas khusus yang dapat mendayagunakan secara efektif penggunaan
media pengajaran dan pengelompokan siswa. Dalam sistem pengajaran Lacaster,
pemakaian media pengajaran masih sederhana. Seperti penggunaan pasir dalam
melatih siswa menulis.
e. Metoda Pestalozi
Pengamatan pada alam merupakan landasan utama dari proses daktiknya. Pengetahuan
bermula dari adanya pengamatan, dan pengamatan menimbulkan pengertian,
selanjutnya pengertian yang baru itu menimbulkan pengertian yang selanjutnya
pengertiaan tersebut bergabung dengan yang lama untuk menjadi sebuah
pengetahuan. Dan dapat dikatakan bahwa perintisan ke arah pendayagunaan
perangkat keras atau hardware sebenarnya telah dimulai pada masa Pestazoli ini,
seperti penciptaan papan aritmatik yang terbagi dalam kotak kotak yang di
setiap kotaknya diberi garis-garis yang secara keseluruhan berjumlah 100 kotak
kecil. Selain itu Pestalozi juga menciptakan stylabaries untuk melatih siswanya
dalam mempelajari angka, bentuk, posisi dan warna disain.
f. Metoda Froebel
Metode Froebel didasarkan kepada metodologi dan pandangan filsafafnya yang
intinya mengatakan bahwa pendidkan masa kanak-kanak merupakan hal paling
penting untuk keseluruhan kehidupnnya. Karena itulah Froebel mendirikan
Kindergarten atau yang lebih dikenal dengan Taman Kanak – kanak. Metoda
pengajaran Kindergasten dari Froebel meliputi kegiatan berikuti: Bermain dan
bernyanyi, Membentuk dengan melakukan kegiatan, Grift dan Occupation.
g. Metoda Friedrich Herbart
Praktek pendidikan Herbert terlihat adanya pengaruh Freobert terutama pada
aspek pengembangan moral sebagai tujuan utama pendidikan. Metoda
instruksionalnya didasarkan kepada ilmu jiwa yang sistematis. Dengan demikian
siswa secara pikologis dibentuk oleh gagasan yang datang dari luar. Berdasarkan
sejarah perkembangannya, istilah Teknologi Pendidikan mulai digunakan sejak
tahun 1963, dan secara resmi diikrarkan oleh Association of Educational and
Communication Technology (AECT) sejak tahun 1977, walaupun adakalanya terjadi
overlapping penggunaan istilah tersebut dengan teknologi pembelajaran. Namun,
kedua istilah tersebut masih terus digunakan sesuai dengan pertimbangan
penggunanya. Finn (1965) mengungkapkan bahwa di Inggris dan Kanada lebih lazim
digunakan istilah Teknologi Pendidikan, sedangkan di Amerika Serikat banyak
digunakan istilah teknologi pembelajaran. Tapi adakalanya kedua istilah
tersebut digunakan secara serempak dalam kegiatan yang sama. Dan akhir-akhir
ini berkembang konsep bahwa teknologi pembelajaran lebih layak digunakan untuk
konteks penyelenggaraan pengajaran.
A. Perkembangan Kerangka Konsep
Istilah teknologi berasal dari
kata "textere" (bahasa Latin) yang artinya "to weave or
construct", menenun atau membangun. Menurut Saettler (1968) bahwa
teknologi tidak selamanya harus menggunakan mesin sebagaimana terbayangkan
dalam pikiran kita selama ini, akan tetapi merujuk pada setiap kegiatan praktis
yang menggunakan ilmu atau pengetahuan tertentu. Bahkan disebutkan bahwa
teknologi itu merupakan usaha untuk memecahkan masalah manusia (Salisbury,
2002). Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Romiszowski (1981, h. 11)
menyebutkan bahwa teknologi itu berkaitan dengan produk dan proses. Sedangkan
Rogers (1986, h. 1) mempunyai pandangan bahwa teknologi biasanya menyangkut
aspek perangkat keras (terdiri dari material atau objek fisik), dan aspek
perangkat lunak (terdiri dari informasi yang yang terkandung dalam perangkat
keras). Didasarkan atas pemahaman-pemahaman tersebut secara gamblang Salisbury
(2002, 7) mengungkapkan bahwa teknologi adalah penerapan ilmu atau pengetahuan
yang terorganisir secara sistimatis untuk penyelesaian tugas-tugas secara
praktis.
Penggunaan istilah teknologi
dalam pendidikan tidak terlepas dari kajian Finn (1960) pada seminar tentang
peran teknologi dalam masyarakat, dengan judul makalahnya "Technology and
the Instructional Process". Melalui makalahnya dikaji hubungan antara
teknologi dengan pendidikan. Argumen utama yang disampaikannya didasarkan atas
gejala pemanfaatan teknologi dalam kehidupan masyarakat yang memiliki kemiripan
dengan kondisi yang terdapat dalam pendidikan. Oleh karena itu, penggunaan
istilah teknologi yang digandengkan dengan pendidikan merupakan suatu hal yang
tepat dan wajar.
Lumsdaine (1964) dalam
Romiszoswki (1981: 12) menyebutkan bahwa penggunaan istilah teknologi pada
pendidikan memiliki keterkaitan dengan konsep produk dan proses. Konsep produk
berkaitan dengan perangkat keras atau hasil-hasil produksi yang dimanfaatkan
dalam proses pengajaran. Pada tahapan yang sederhana jenis teknologi yang
digunakan adalah papan tulis, bagan, objek nyata, dan model-model yang
sederhana. Pada tahapan teknologi menengah digunakannya OHP, slide, film
proyeksi, peralatan elektronik yang sederhana untuk pengajaran, dan peralatan
proyeksi (LCD). Sedangkan tahapan teknologi yang tinggi berkaitan dengan
penggunaan paket-paket yang kompleks seperti belajar jarak jauh yang
menggunakan radio, televisi, modul, computer assisted instruction, serta
pengajaran atau stimulasi yang komplek, dan sistem informasi dial-access
melalui telepon dan lain sebagainya.
Penggunaan perangkat keras ini
sejalan dengan perkembangan produk indutri dan perkembangan masyarakat, seperti
e-learning yang memanfaatkan jaringan internet untuk kegiatan pembelajaran.
Konsep proses atau perangkat lunak, dipusatkan pada pengembangan substansi
pengalaman belajar yang disusun dan diorganisir dengan menerapkan pendekatan
ilmu untuk kepentingan penyelenggaraan program pembelajaran. Pengembangan
pengalaman belajar ini diusahakan secara sistemik dan sistematis dengan
memanfaatkan berbagai sumber belajar. Konsep proses dan konsep produk pada
hakekatnya tidak dapat dipisahkan karena keduanya bersama-sama dimanfaatkan
untuk kepentingan pemberian pengalaman belajar yang optimal kepada peserta
didik.
Pengembangan program belajar
diawali dengan analisis tingkah laku (tingkahlaku yang perlu dipelajari dan
keadaan tingkahlaku belajar peserta didik) yang perlu dikuasai peserta didik
dalam proses belajar dan pelahiran tingkah laku setelah mengikuti kegiatan
pembelajaran. Tahapan analisis tingkah laku tersebut memanfaatkan penggunaan
ilmu atau sejumlah pengetahuan untuk mengungkap kemampuan yang harus dimiliki
calon peserta didik, di samping kemampuan yang harus digunakannya untuk
memperoleh kemampuan hasil belajar. Romiszwoski (1986: 15-17) memasukkan
kegiatan tersebut ke dalam istilah "behavioral technology".
Selanjutnya, kemampuan-kemampuan hasil analisis dikembangkan ke dalam
pengembangan program pembelajaran yang terpilih, atau tahapan
"instructional technology".
Konsep dan prinsip teknologi
pembelajaran kemudian diperkaya oleh ahli-ahli bidang Psikologi, seperti Bruner
(1966), dan Gagne (1974), ahli Cybernetic seperti Landa (1976), dan Pask
(1976), serta praktisi seperti Gilbert (1969), dan Horn (1969), serta
lembaga-lembaga pendidikan yang memiliki ketertarikan atas pengembangan program
pembelajaran. Walaupun teknologi pembelajaran termasuk masih prematur, akan
tetapi usaha pengembangannya terus dilakukan secara kreatif dan teliti sehingga
mampu memecahkan permasalahan yang muncul dalam pembelajaran, sampai kepada
hal-hal mikro dalam tahapan tingkahlaku belajar peserta didik.
Pembelajaran pada hakekatnya
mempersiapkan peserta didik untuk dapat menampilkan tingkahlaku hasil belajar
dalam kondisi yang nyata, atau untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam
kehidupannya. Untuk itu, pengembang program pembelajaran selalu menggunakan
teknik analisis kebutuhan belajar untuk memperoleh informasi mengenai kemampuan
yang diperlukan peserta didik. Bahkan setelah peserta didik menyelesaikan
kegiatan belajar selalu dilakukan analisis umpan balik untuk melihat kesesuaian
hasil belajar dengan kebutuhan belajar. Harless (1968) menyebutnya dengan
"front-end analysis", sedangkan Mager dan Pape (1970) menyebutnya
"performance problem analysis". Dan Romizwoski (1986) mengistilahkan
kegitan tersebut sebagai "performance technology".
Secara konsep dan praktek,
program pembelajaran memerlukan perhatian semua pihak yang memiliki keterkaitan
termasuk kajian disiplin ilmu, dan tidak bisa hanya dipercayakan sepenuhnya
kepada pihak pengajar saja. Hal ini diakibatkan oleh kompleksnya masalah human
learning. Belajar berkaitan dengan perkembangan psikologis peserta didik,
pengalaman yang perlu diperoleh, kemampuan yang harus dipelajari, cara atau
teknik belajar, lingkungan yang perlu menciptakan kondisi yang kondusif, sarana
dan fasilitas yang mendukung, dan berbagai faktor eksternal lainnya. Untuk itu,
Malcolm Warren (1978) mengungkapkan bahwa diperlukan teknologi untuk mengelola
secara efektif pengorganisasian berbagai sumber manusiawi. Romizowski (1986)
menyebutnya dengan "Human resources management technology".
Penanganan berbagai pihak yang diperlukan dan memiliki perhatian terhadap
pengembangan program belajar dan penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
memerlukan satu teknik tertentu yang dapat mengkoordinir dan mengakomodasikannya
sesuai dengan potensi dan keahlian masing-masing.
Keterkaitan keseluruhan
teknologi yang diperlukan untuk menangani masalah belajar manusia tersebut
digambarkan oleh Romizwoski (1986) dalam bagan di bawah ini, dimulai dari
teknologi yang berkaitan dengan cara penguasaan kemampuan oleh peserta didik
atau disebut dengan "behavioral technology", kemudian teknologi yang
diperlukan dalam disain, pengembangan, dan pemanfaatan program pembelajaran
yang disebut dengan "instructional technology", teknologi yang
berkaitan dengan mencocokkan kebutuhan belajar dengan penampilan peserta didik
dalam konteks tertentu disebut dengan "performance technology", dan
keseluruhan teknologi tersebut dibungkus melalui teknologi untuk mengelola
berbagai sumber yang diperlukan untuk kepentingan disain, pengembangan, dan
penyelenggaraan program belajar yang disebut dengan "human resources
management technology".
B. Sejarah Perkembangan Konsep
1. Pengantar ke arah Terbentuknya
Konsep Teknologi Pendidikan
Didasarkan atas pendekatan
historik, Januszewski (2001: 2-15) mengungkapkan bahwa tahap awal sebagai
pengantar ke arah pengembangan konsep dan istilah teknologi pendidikan
dilandasi dan dipertajam oleh tiga faktor berikut: Pertama, engineering (Bern,
1961; Szabo, 1968); Kedua, science (Finn, 1953; Ely, 1970; Jorgenson, 1981;
Saettler, 1990; Shorck, 1990), dan Ketiga, the development of the Audio Visual
education movement (Ely, 1963; Ely, 1970; Jorgerson, 1981; Saettler, 1990;
Shrock, 1990). Dari hasil kajiannya menunjukkan bahwa teknologi pendidikan
memiliki keterkaitan dan saling ketergantungan dengan ketiga faktor tersebut
(engineering, science, dan audiovisual education).
Dalam kaitannya dengan
engineering, pengkajian diawali dari makna engineering yang menggambarkan
kegiatan riset dan pengembangan serta usaha menghasilkan teknologi untuk
digunakan secara praktis, yang kebanyakan terdapat di bidang industri. Saettler
(1990) menyatakan bahwa Franklin Bobbitt dan W.W. Charters menjadi perintis
penggunaan istilah "educational engineering" pada tahun 1920-an,
khususnya pada pendekatan yang digunakan untuk pengembangan kurikulum.
Penggunaan istilah engineering ini digunakan pula oleh Munroe (1912) dalam
mengikat konsep ilmu managemen dalam setting pendidikan dan educational
engineering. Munroe beralasan bahwa istilah educational engeering diperlukan
dalam mengkaji tentang usaha yang besar untuk mempersiapkan anak-anak memasuki
kehidupannya, mana yang lebih baik, mana yang harus dihindari, persyaratan apa
yang perlu dipersiapkan, dimana dan mengapa mereka mengalami ketidakberhasilan.
Charters (1941) yang dinyatakan T.J. Hoover dan J.C.L. Fish mengungkapkan bahwa
engineering adalah kegiatan profesional dan sistematik dalam mengaplikasikan
ilmu untuk memanfaatkan sumber alam secara efisien dalam menghasilkan
kesejahteraan. Selanjutnya dari hasil diskusi antara konsep engineering yang
diungkapkan Charters dan konsep teknologi yang dikembangkan Noble menghasilkan
empat kesamaan, yaitu:
a. Keduanya memerlukan usaha yang
sistimatik;
b. Keduanya menyatakan aplikasi
ilmu;
c. Keduanya menekankan pada
efisiensi pemanfaatan sumber; dan
d. Tujuan dari keduanya adalah
untuk memproduksi sesuatu.
Dalam penerapannya pada pendidikan, digambarkan bahwa usaha sistimatik
perlu dilakukan setiap teknolog pendidikan dalam setiap mengembangkan program,
dan dalam penyelenggara pembelajaran. Dalam kaitannya dengan aplikasi ilmu,
Charters menyatakan bahwa ilmu merupakan dasar dalam pendidikan, dan setiap
usaha dalam pendidikan perlu dilandasi oleh kejelasan ilmu yang digunakan.
Untuk hal tersebut, diyakini bahwa adanya titik yang sama antara educational
engineering dengan industrial engineering, keduanya menggunakan metode riset
yang dilandasi oleh dasar keilmuan. Selanjutnya, penyelenggara pendidikan perlu
menetapkan efisiensi dalam setiap usaha yang dilakukannya, pengajar perlu
menetapkan bagaimana cara yang efisien supaya peserta didik memperoleh
pengalaman belajar yang maksimal. Dalam kaitannya dengan memproduksi setiap
program pembelajaran pada hakekatnya ditujukan untuk memberikan pengalaman
belajar kepada peserta didik secara maksimal sehingga masalah belajar dapat
terpecahkan.
Terdapat tiga perbedaan antara Charters dengan John Dewey dalam memandang
ilmu dan engineering dalam pendidikan. Pertama, kalaulah Charters menyatakan
bahwa sistimatisasi pembelajaran dan ilmu yang dipelajari menjadi ukuran dalam
proses dan hasil belajar, namun Dewey kurang setuju dengan penggunaan
pendekatan algoritmik ilmu dan engineering dalam pendidikan. Kedua, dalam
metode ilmu dan berpikir reflektif, Charters mengungkapkan bahwa adanya
kesamaan tahapan metode ilmu dan berpikir reflektif dalam metode engineering.
Berpikir reflektif merupakan artikulasi metode engineering, bersifat proses dan
prosedur linier dalam menetapkan kegiatan awal dan akhir. Sedangkan Dewey
kurang setuju dengan ide bahwa berpikir reflektif merupakan prosedur linier,
menurutnya bahwa terdapat proses yang terbuka sesuai dengan permasalahan dan
hipotesis yang akan diuji. Akan tetapi keduanya sepakat atas lima tahapan dalam
berpikir reflektif. Ketiga, bahwa Dewey kurang setuju dengan model yang
terrencana pada pendidikan seperti yang digunakan pada peran pekerja didalam
industri (Munroe, 1912). Dewey mengharapkan bahwa praktisi pendidikan perlu
memanfaatkan pengalaman dan kemampuan berpikir reflektif dalam menggunakan
metode ilmu, dan menolak penggunaan prosedur yang terstandarisasi.
Penggunaan pendekatan science dalam bidang pendidikan termasuk teknologi
pendidikan merupakan suatu keharusan, karena konsep dan praksis pendidikan pada
hakekatnya mengungkapkan hal-hal yang terjadi secara empirik di lapangan.
Herbert Kliebert (1987) sebagai ahli Sejarah Pendidikan dan Kurikulum
mengidentifikasi adanya tiga peristiwa yang berbeda yang ditemukan pada awal
abad dua puluh dalam memahami penggunaan science dalam pendidikan. Pertama,
berkaitan dengan perkembangan anak yang didukung secara mendasar oleh konsep G
Stanley Hall tentang ilmu perkembangan. Para pendidik mengkaji perkembangan
anak sesuai dengan kondisi lingkungan mereka, tujuannya untuk mengungkap
kurikulum yang paling tepat untuk mereka. Pandangan kedua, pemanfaatan science
dalam pendidikan menggunakan model umum scientific inquiry dalam berfikir
reflektif yang dikembangkan oleh Dewey.
Ia tertarik untuk mengkaji model mengajar untuk keterampilan berpikir
dengan menggunakan science, dan pola science dijadikan dasar untuk menetapkan
metode pembelajaran dan bahan ajar yang akan disampaikan. Pandangan ketiga,
mengungkapkan bahwa science menjadi ukuran yang eksak dan standar yang tepat
untuk memelihara dan memprediksi keteraturan dunia (Kliebard, 1987). Sejalan
dengan itu, science dalam pendidikan menjadi laboratorium dan percobaan untuk
memilih dan menetapkan calon peserta didik, penetapan kurikulum, penetapan
metode pembelajaran, dan menilai hasil belajar peserta didik. Tujuan science
dalam pendidikan memberikan jaminan bahwa peristiwa belajar yang diharapkan
memiliki dampak terhadap efisiensi dan efektifitas pembelajaran, disamping
kemampuan hasil belajar dapat diprediksi dan dikontrol.
Faktor ketiga yang mempengaruhi lahirnya teknologi pendidikan adalah adanya
gerakan. Berdasarkan sejarah perkembangan konsep audiovisual pada pendidikan
tidak memiliki keterkaitan dengan konsep engineering dan science secara luas.
Bahkan secara khusus teknologi pendidikan memandang bahwa konsep audiovisual
dilandasi oleh pemahaman tentang hardware dan equipment (Finn, 1960).
Kebanyakan penggunaan peralatan pendidikan di kelas digunakan setelah Perang
Dunia ke II (Lange, 1969). Oleh karena itu pemahaman yang populer menunjukkan
bahwa teknologi pendidikan merupakan hasil evolusi gerakan penggunaan
audiovisual pada pendidikan.
Hoban yang menyelesaikan doktor sebelum Dale di OHIO State University telah
menulis buku tentang Visualizing the Curriculum tahun 1937 bersama ayahnya dan
Samual Zisman, secara sistematis mereka mengungkapkan hubungan antara bahan
ajar secara kongkrit dengan proses belajar. Mereka mulai menggambarkan tentang
visual aid atau alat bantu mengajar yang berupa gambar, model, objek yang
berupa pengalaman belajar kongkrit kepada peserta didik dengan tujuan untuk
memperkenalkan, membangun, memperkaya, atau mengklarifikasi konsep abstrak.
Kemudian Dale mencoba mendiversifikasi pengalaman belajar di dalam kelas. Buku
yang pertama ditulisnya adalah Audio Visual Methods in Teaching (1946), yang
menjelaskan "Cone of Experience" atau kerucut pengalaman sebagaimana
populer sampai saat sekarang. Konsepnya sangat mempengaruhi dan mengilhami
pengembangan konsep audiovisual.
2. Fase Permulaan Lahirnya Konsep
Perkembangan selanjutnya
adalah termasuk "Fase Permulaan" disusunnya konsep teknologi
pendidikan secara sistematis, berlangsung pada tahun 1963 dengan bercirikan
pergeseran audiovisual ke arah teknologi pendidikan. Pada masa ini mulai
disusun definisi secara formal teknologi pendidikan sebagaimana dinyatakan oleh
AECT, walaupun perumusan definisinya masih kental dengan kandungan audiovisual
communication. Formulasi definisi yang disusun dengan berfokus pada pemahaman
bahwa teknologi pendidikan adalah teori dan reorientasi konsep yang
membedakannya dengan konsep audiovisual.
Hasil identifikasi menunjukkan
bahwa kandungan definisi teknologi pendidikan memuat tiga ide utama yaitu: 1.
menggunakan konsep proses dibanding konsep produk; 2. menggunakan istilah
massage dan media instrumentation dibanding istilah materials dan machine; dan
3. memperkenalkan bagian penting dari belajar dan teori komunikasi (Ely, 1963:
19). Dari kandungan definisi tersebut maka sejak tahun 1963 terdapat pemahaman
bahwa teknologi pendidikan memperoleh kontribusi konsep dari konsep komunikasi,
teori belajar, dan teaching machine and programmed instruction.
Teori komunikasi yang
dikembangan Harold Lasswell merupakan awal pijakan dalam mempelajari konsep
komunikasi dalam pendidikan. Hal ini diperkuat Dale yang menekankan perlunya
komunikasi dalam memulai mengajar dan menulis. Konsep komunikasi yang terpilih
pada masa itu bergeser dari komunikasi satu arah ke komunikasi dua arah atau
interaktif. Konsep komunikasi yang diungkapkan Shannon dan Weaver's sebagai
hasil kajiannya terhadap komunikasi telpon dan teknologi radio menjadi model
yang khas yang disebut Mathematical Theory of Communication, dengan
komponen-komponennya yang terdiri dari: Information Source, Massage,
Transmitter, Signal, Noise Source, Signal Receiver, Reciever, Massage, dan
Destination, konsep teori komunikasinya tergolong pada komunikasi linier.
Kemudian David Berlo (1960) yang banyak diilhami model Shannon dan Weaver
menghasilkan temuannya Model Komunikasi Sender, Massage, Channel, Receiver
(SMCR). Konsepnya banyak memberikan perhatian terhadap adanya Massage (pesan)
dan Channel (saluran). Model ini menjadi dasar pengembangan dalam komunikasi
audiovisual pada pendidikan. Perkembangan ke arah komunikasi interaktif
memiliki dampak terhadap perkembangan konsep teknologi pendidikan yang banyak
memperhatikan perubahan posisi decoder dan encoder dalam menerima, mengolah,
dan menyampaikan feed back pesan sehingga terjadinya saling memberi informasi.
Kajian ahli-ahli psikologi dan
sosial psikologi dalam pendidikan berlangsung selama masa dan pasca perang
dunia ke II, terutama menjadi fokus kajian di lingkungan pengajaran militer
(Lange, 1969). Hasil kajiannya membawa pengaruh terhadap penyelenggaraan
pembelajaran, terutama dalam menetapkan tujuan pengajaran, memahami peserta
didik, pemilihan metode mengajar, pemilihan sumber belajar, dan penilaian.
Kemudian berkembang beberapa kajian yang berkaitan dengan hubungan antara media
audiovisual dengan pembelajaran yang difokuskan pada persepsi peserta didik,
penyajian pesan, dan pengembangan model pembelajaran. Studi masa itu kebanyakan
diwarnai oleh aliran psikologi behavior, sebagai contoh operant behavioral
conditioning yang ditemukan BF Skinner (1953). Teori belajar dan psikologi
behavior ini mempengaruhi teknologi pendidikan pada masa itu dalam tiga hal,
yaitu:
a. Pengembangan dan penggunaan
teaching machine dan program pembelajaran;
b. Spesifikasi tujuan pendidikan
ke arah behavioral objectives; dan
c. Pencocokan konsep operant
conditioning dengan konsep model komunikasi (Ely, 1963).
Keterkaitan teori belajar ini terus dikaji oleh para ahli teknologi
pendidikan, sehingga tidak hanya psikologi behavior saja yang memiliki
kontribusi terhadap teknologi pendidikan akan tetapi bergeser ke arah psikologi
kognitif sebagaimana dikembangkan oleh Robert M Gagne (The Conditions of
Learning and theory of instruction, 1916). Kedudukan teori belajar dijadikan
sumber inspirasi di dalam pengembangan model pembelajaran, terutama di dalam
penetapan tingkah laku yang harus dikuasai peserta didik, karakteristik peserta
didik, kondisi-kondisi pembelajaran yang harus dirancang, beserta berbagai
fasilitas belajar yang dapat memperkuat pengalaman belajar peserta didik.
Kajian teaching machine and programmed instruction dilakukan melalui studi
science in education (Skinner, 1954; Saettler, 1990), gerakan efisiensi
pendidikan (Stolurow, 1961; Dale, 1967), dan kajian kurikulum untuk pengajaran
individual (Stolurow, 1961; Dale, 1967; Saettler, 1990). Walaupun teaching
machine ini sangat populer dan diawali kajiannya oleh Skinner, akan tetapi E L
Thorndike (1912) yang mulai mengembangkan konsep ke arah pemanfaatan teaching
machine dan programmed instruction (Dale, 1967; Ely, 1970; Saettler, 1990).
Dasar-dasar pemahaman teaching machine, programmed instruction diantaranya
pemahaman tentang perbedaan individual, pengorganisasian pembelajaran, dan
penilaian hasil belajar.
Skinner mengungkapkan bahwa teaching machine sangat mendasar dalam proses
pembelajaran, terutama dalam memperkuat (reinforcement) pembelajaran. Menurutnya
bahwa teaching machine adalah instrumen yang simpel dan menyatu dengan usaha
penguatan pembelajaran, sehingga peserta didik dapat memperkuat perolehan
pengalaman belajarnya. Konsep reinforcement dalam pengajaran ini banyak
diwarnai oleh hukum operant conditioning yang mengikuti Thorndike's law effect.
Program pembelajaran pada hakekatnya ditujukan untuk kepentingan efesiensi
pembelajaran, sehingga setiap penyelenggaraan pembelajaran perlu didasarkan
atas prinsip-prinsip pengajaran yang tepat. Kalaulah sistem pembelajaran itu
sebagai proses pengajaran dan belajar, serta didalamnya terkandung proses
komunikasi, maka perlu dianalisis komponen-komponen apa yang perlu dipersiapkan
untuk terjadinya proses pengajaran dan belajar tersebut. Pada masa tersebut pemanfaatan
media audiovisual khususnya teaching machine dalam pembelajaran menjadi kajian
pokok sehingga mewarnai perumusan definisi teknologi pendidikan versi tahun
1960-an.
Sumbangan dari komunikasi, teori belajar, dan the man-machine system
terhadap perumusan teknologi pendidikan sebagaimana dirumuskan oleh National
Education Association (NEA) dalam istilah komunikasi audiovisual diakui AECT
sebagai definisi formal yang pertama untuk teknologi pendidikan, walaupun
disebutnya dengan menggunakan istilah komunikasi audiovisual. Menurut NEA bahwa
komunikasi audiovisual adalah cabang dari teori dan praktek pendidikan yang
secara khusus berkaitan dengan desain dan pemanfaatan pesan untuk mengendalikan
proses belajar. Kegiatannya meliputi: (a). Mempelajari kelebihan dan kekurangan
yang unik maupun yang relatif dari pesan baik yang diungkapkan dalam bentuk
gambar, maupun yang bukan, dan yang digunakan untuk tujuan apapun dalam proses
belajar; dan (b) penyusunan dan penataan pesan oleh manusia dan alat dalam
suatu lingkungan pendidikan. Kegiatan ini meliputi perencanaan, produksi,
pemilihan, manajemen dan pemanfaatan dari komponen serta seluruh sistem
pembelajaran. (Ely, 1963: 18-19).
3. Fase Mempertahankan Identitas
Konsep yang berkembang pada
masa permulaan terus dikaji ulang dan disesuaikan dengan perkembangan
pemanfaatan audiovisual dalam pendidikan. Hasil kajian tahun 1965 melahirkan
adanya beberapa pilihan, yaitu: 1). dimungkinkan untuk menggunakan kembali
label audiovisual; 2). merubah nama audiovisual menjadi educational
communication; 3). merubah nama audiovisual menjadi learning resources; dan 4).
merubah nama audiovisual menjadi instructional technology or educational
technology. Sejalan dengan perubahan Department of Audiovisual Instruction
(DAVI) menjadi Association for Educational Communication and Technology (AECT),
maka secara serempak bidang kajian audiovisual berubah menjadi Instructional
technology atau educational technology. Bahkan mencakup kajian educational
communication. Silber (1972), mengungkapkan bahwa perubahan ini memiliki
implikasi terhadap cakupan pekerjaan educational technology yang akan
menghasilkan keanekaragaman program dan rancangan pembelajaran yang dapat
dimanfaatkan peserta didik untuk memenuhi kebutuhan belajarnya.
Terdapat tiga konsep utama
yang memberikan kontribusi terhadap perumusan definisi versi tahun 1972
sehingga teknologi pendidikan dijadikan sebagai bidang kajian, yaitu: 1).
keluasan pemaknaan learning resources; 2). kontribusi program individual or
personal instruction, dan 3). pemanfaatan system approach. Ketiga konsep ini
digabungkan ke dalam suatu pendekatan untuk memfasilitasi belajar, menciptakan
keunikan, dan memiliki alasan untuk kepentingan pengembangan dalam bidang
teknologi pendidikan.
Learning resources sebagai konsep yang pertama
yang mendukung perumusan definisi 1972, dimaknai sebagai lingkungan belajar
yang dapat memberikan, memperkuat, dan menambah informasi yang disampaikan
pengajar. Ely (1972) mengklasifikasi learning resources ini ke dalam empat katagori,
yaitu: bahan belajar, peralatan dan fasilitas, orang, dan lingkungan.
Klasifikasi lain membaginya ke dalam dua kelompok, yaitu: human resources, dan
non-human resources. Secara teknis, pengadaan learning resources ini dibagi ke
dalam dua pola, yaitu by design, dan by utilization. Sumber belajar jenis by
utilization kadangkala disebut dengan "real world resources", karena
tidak khusus dirancang untuk kepentingan suatu pembelajaran tetapi memanfaatkan
sumber belajar yang tersedia dalam dunia nyata untuk membantu proses
pembelajaran. Sedangkan maksud sumber belajar jenis by design adalah berbagai
sumber belajar yang dirancang dan diproduksi pengadaannya untuk kepentingan
penyelenggaraan pembelajaran. Melalui sumber belajar macam ini diharapkan dapat
mengurangi kedudukan guru sebagai "transmitter of information"
penyampai informasi, akan tetapi menjadi pengajar yang dapat memberi kemudahan
kepada peserta didik untuk mencari dan memperoleh informasi yang luas dan
banyak sesuai dengan topik yang sedang dipelajarinya.
Faktor kedua yang banyak
memberikan kontribusi terhadap definisi 1972 adalah berkembangnya konsep dan
penggunaan individual or personal instruction dalam penyelenggaraan
pembelajaran. Hal ini diakibatkan oleh tumbuhnya berbagai kebutuhan belajar yang
tidak dapat dilayani dalam pembelajaran di kelas, belum terakomodasi dalam
kurikulum yang diselenggarakan di sekolah, dan atau adanya keinginan untuk
meningkatkan pemahaman mengenai bahan belajar yang dipelajari di sekolah.
Maksud dari individual or personal instruction adalah sejumlah bahan ajar yang
disampaikan melalui teknik yang memungkinkan untuk dapat belajar secara
perorangan.
Empat model program
individualized instruction yang sangat populer yang menjadi kajian bidang
teknologi pendidikan, adalah: Mastery Learning yang dikembangkan Bloom (1968);
Individually Prescribed Instruction (IPI) yang dikembangkan di University of
Pittsburg tahun 1964; Personalized System of Instruction (PSI) yang
dikembangkan Keller Plan (1968); dan Individually Guided Education (IGE) yang
dikembangkan oleh Wisconsin Research and Development tahun 1976.
Kajian Mastery Learning banyak
mempengaruhi konsep individualized instruction pada tahun 1960 an dan 1970 an.
Hasil kajiannya menunjukkan bahwa melalui mastery learning dapat diprediksi
bahwa 95 % peserta didik dapat mencapai tingkat keberhasilan belajar jika
mereka disediakan waktu belajar yang tepat. Melalui pendekatan individual ini
peserta dapat belajar secara cepat dan independen, bahkan pendekatan ini
menekankan pada penyelesaian belajar untuk bagian tertentu secara utuh sebelum
melanjutkan kepada bagian lainnya. Bloom (1968) mengidentifikasi adanya lima
variabel yang sangat penting dalam program mastery learning, yaitu: kualitas
pembelajaran, kecakapan untuk memahami pelajaran, ketekunan, waktu, dan
kecerdasan.
Menurut Bloom (1968)
didasarkan atas hasil kajiiannya menunjukkan bahwa peserta didik yang memiliki
kecerdasan yang tinggi dapat mengerjakan secara baik setiap tugas yang
diberikannya, bahkan ia dapat terlibat belajar walaupun untuk bahan ajar yang
sangat komplek, sedangkan peserta didik yang memiliki kecerdasan yang rendah
hanya dapat mempelajari bahan ajar yang sederhana sesuai dengan kemampuannya.
Sedangkan John Carroll (1963) menjelaskan bahwa jika kondisi peserta didik
memiliki kecerdasan yang berdistribusi normal dan mereka memperoleh kualitas
pembelajaran dan jumlah waktu belajar yang sama maka pengukuran hasil belajar
akan menunjukan distribusi normal pula. Menurutnya, bahwa kecerdasaan dan
jumlah waktu belajar merupakan persyaratan bagi peserta didik untuk dapat
memperoleh hasil belajar secara tuntas.
Disamping mastery learning
yang memiliki kontribusi terhadap perkembangan konsep teknologi pendidikan
dalam kaitannya dengan individual instructin adalah Fred Keller (1968) yang
mengembangkan the Personalized System of Instruction (PSI) sebagai hasil kajiannya
di perguruan tinggi. Konsep ini merupakan gabungan antara mastery learning
dengan program pembelajaran yang konvensional, dan ditambah dengan motivasi.
Pengajaran tatap muka dirancang sebagai suplemen untuk memperkaya penguasaan
bahan belajar dibanding sebagai sumber informasi yang pokok untuk ketuntasan
pemahaman bahan ajar. Keller menggunakan pengawas atau pembimbing yang
menguasai bahan ajar, dan ditugaskan untuk mencatat hasil tes dan memberikan
tutorial kepada peserta didik yang memerlukannya. Melalui pengawas ini
diharapkan dapat meningkatkan aspek sosial pada diri peserta didik dalam proses
pendidikan.
Kemudian di Universitas
Pittsburgh (1964) dikembangkan pula Individually Prescribed Instruction (IPI)
untuk kepentingan pengajaran di sekolah dasar. IPI ini hampir sama dengan PSI
yang menggunakan prinsip penggabungan teori belajar behavioris dengan mastery
learning. Sebelum peserta didik mempelajari bahan belajar mereka diberikan tes
awal untuk menetapkan kemampuan awal peserta didik dan tingkatan bahan belajar
yang akan dipelajarinya. Tes awal ini yang membedakan antara konsep IPI dengan
model yang dikembangkan Keller dan mastery learning. Dan menurut hasil
kajiannya tes awal ini lebih efektif dalam menetapkan awal peserta didik
mempelajari bahan ajar dan penguasaan keseluruhan mata pelajaran.
Kajian lain dilakukan oleh
Wisconsin Research and Developmen Center (1976) yang mengembangkan Individually
Guided Education (IGE) pada sekitar 3000 sekolah dengan adanya keanekaragaman
treatment. Model ini memiliki pola adanya tes awal, tujuan pengajaran khusus,
dan rancangan program pengajaran. Model ini juga menggunakan adanya pelatihan
guru, pengujian model pengajaran yang digunakan, adanya team teaching, tidak
adanya tingkatan sekolah, dan tutor sebaya serta lintas umur. Dengan adanya
pengembangan staf untuk menguasai model yang digunakan maka memudahkan dalam
mencapai keberhasilan model ini dalam penyelenggaraan pembelajaran.
Kontribusi ketiga terhadap
definisi teknologi pendidikan versi tahun 1972 adalah pendekatan sistem. Hal
ini didasarkan atas pemahaman bahwa program pembelajaran adalah sebagai sistem
yang memiliki komponen-komponen pembelajaran yang saling keterkaitan satu sama
lainnya untuk mencapai tujuan pengajaran. Sesuai dengan konsep sistem yang bersifat
preskriptif, maka rancangan program adalah penetapan berbagai komponen
pembelajaran untuk mencapai tujuan pengajaran yang telah ditetapkan. Standar
yang terkandung dalam tujuan pengajaran digunakan sebagai acuan untuk
menetapkan karakteristik peserta didik, bahan ajar, sumber belajar, fasilitas
yang perlu digunakan dan tes untuk mengukur keberhasilan pencapaian tujuan itu
sendiri. Hug dan King (1984) mengungkapkan bahwa tujuan penggunaan pendekatan
sistem ini adalah untuk merancang, mengimplementasikan, dan menilai keseluruhan
program pendidikan. Sedangkan penafsiran dari pendekatan sistem itu sendiri
didasarkan atas pendapat Ludwig von Bertalanffy (1975) dalam General System
Theory yang menekankan pada studi terhadap keseluruhan entitas dalam memahami
hubungan yang mendasar keberadaan dari keseluruhan komponen dalam sistem.
Melalui pendekatan sistem maka
teknologi pendidikan tidak menetapkan langkah-langkah secara partial akan
tetapi didasarkan atas keseluruhan komponen-komponen yang terlibat dalam pendidikan
itu sendiri, baik dalam kaitannya dengan pembelajaran secara mikro maupun
penyelenggaraan pendidikan secara makro.
Didasarkan atas
masukan-masukan konsep tersebut maka AECT merumuskan definisi teknologi
pendidikan versi 1972 (bukan menggunakan istilah komunikasi audiovisual) adalah
suatu bidang yang berkepentingan dengan memfasilitasi belajar pada manusia
melalui usaha yang sistematik dalam identifikasi, pengembangan, pengorganisasi,
dan pemanfaatan berbagai sumber belajar serta dengan pengelolaan semua proses
tersebut (AECT, 1972:36).
4. Masa Sistemisasi Konsep
Perubahan dari AV
communications ke teknologi pendidikan yang berlangsung pada tahun 1972
melahirkan definisi teknologi pendidikan versi 1972 yang mengarah pada suatu
bidang kajian dalam pendidikan. Konsep yang terkandung dalam memaknai teknologi
pendidikan ini terus dikritisi para ahli pendidikan dan dihasilkan pemahaman
bahwa teknologi pendidikan itu merupakan suatu proses bukan hanya untuk bidang
kajian saja, bahkan termasuk teori dan profesi teknologi pendidikan. Secara
konsep perkembangan kajian ini melahirkan definisi versi 1977 yang didukung
oleh tiga konsep utama yaitu: learning resources, managemen, dan pengembangan.
Association of Educational and
Communication Technology (AECT) pada tahun 1977 menerbitkan buku The Definition
of Educational Technology yang mengungkapkan: 1) hasil analisis yang sistematis
dan menyeluruh tentang ide dan konsep bidang teknologi pendidikan; dan 2)
keterkaitan antara ide dan konsep yang satu dan lainnya. Buku tersebut
mengungkapkan sejarah dari bidang kajian, alasan perumusan definisi, kerangka
teoritis yang melandasi definisi, diskusi mengenai aplikasi praktis, kode etik
profesi organisasi, dan glossary peristilahan yang memiliki keterkaitan dengan
definisi. Termasuk bahasan yang menjawab kontroversi antara istilah educational
technology dan instructional technology, yang menunjukkan bahwa instructional
technology sebagai bagian "subset" dari educational technology yang
merupakan realitas pengajaran dalam pendidikan.
Kontribusi terhadap perumusan kembali definisi
teknologi pendidikan versi 1972 menjadi versi 1977 sejalan dengan perubahan
klasifikasi learning resources, yang pada awalnya hanya meliputi empat kategori
yaitu: bahan, peralatan, orang, dan lingkungan, menjadi enam (6) kategori atau
kelompok, yaitu: pesan, orang, bahan, peralatan, teknik, dan lingkungan.
Terdapat tiga alasan dari
konsep yang terkandung dalam learning resources versi 1977, yaitu: 1) keluasan
sumber belajar; 2) media; dan 3) pengadaan sumber melalui rancangan dan
pemanfaatan.
Keluasan sumber belajar
menjadi dasar kemungkinan adanya variasi penggunaan model teknologi pendidikan
dalam memecahkan masalah belajar. Melalui sumber belajar yang bervariasi maka
model pembelajaran dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan belajar peserta
didik, sistem penyampaian, dan pemberian pengalaman belajar kepada peserta
didik. Pemanfaatan media ditujukan untuk mentransformasikan informasi, sehingga
dikembangkan model pembelajaran dengan memanfaatkan media tersebut, seperti
contoh media audio visual dimanfaatkan untuk model pembelajaran melalui audio
visual. Sedangkan pengadaan sumber belajar masih melanjutkan dari konsep versi
1972, yaitu adanya pengadaan yang dirancang (by design), dan yang dimanfaatkan
(by utilization). Pengadaan sumber belajar yang dirancang dan yang dimanfaatkan
keduanya ditetapkan melalui analisis sistem untuk menetapkan komponen
pembelajaran yang paling cocok untuk kepentingan belajar peserta didik dalam
mencapai tujuan secara efisien dan efektif. Perbedaannya terletak pada proses
pengadaan yaitu adanya rancangan dan produk yang sesuai dengan keperluan model
pembelajaran, dan di lain pihak adanya sumber belajar yang dimanfaatkan berupa
dunia nyata sebagai lingkungan belajar untuk kepentingan pembelajaran. Dalam
makna bahwa learning resources yang sudah ada di sekeliling peserta didik
dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan belajar.
Managemen menjadi pendukungan
kedua dalam membangun definisi teknologi pendidikan versi 1977, hal ini
merupakan pengaruh dari perkembangan konsep managemen terhadap gerakan
efesiensi pendidikan. Pada awalnya managemen mempengaruhi terhadap administrasi
sekolah, dan kemudian mempengaruhi kepada pembelajaran di kelas. Managemen ini
dipandang sebagai proses, yang sejak definisi 1963 memiliki keterkaitan dengan
dengan disain dan pemanfaatan pesan pendidikan. Pada tahun 1972, konsep
managemen terlihat lebih kental dalam bidang kajian teknologi pendidikan.
Diskusi yang berkembang saat itu sepakat bahwa managemen memiliki keterkaitan
dengan teknologi secara umum, dan dalam kaitannya dengan teknologi pendidikan
terlihat bahwa proses belajar dan mengajar memerlukan adanya langkah-langkah
proses pembelajaran, pengelolaan sistem pembelajaran, dan pengawasan. Untuk itu,
disarankan bahwa guru perlu memiliki pemahaman tentang managemen, karena mereka
sebagai manager di dalam kelas yang memerlukan kemampuan pengelolaan kelas
secara baik.
Heinich (1970) memiliki konsep
bahwa managemen telah dikembangkan bersamaan dengan prinsip-prinsip sistem di
dalam merancang pembelajaran, bahkan konsepnya sejalan dengan pendapat Hoban
(1965) walaupun dalam peristilah yang berbeda. Ia menyebutnya dengan istilah
"management of instruction", sedangkan Hoban menggunakan istilah "management
of learning". Menurutnya bahwa management of instruction tidak hanya
mengembangkan dan menggunakan bahan belajar dan teknik pembelajaran saja akan
tetapi termasuk juga keperluan-keperluan logistik, pendekatan sosiologis, dan
faktor ekonomi.
Bahkan adanya perubahan
paradigma pemanfaatan teknologi pendidikan dalam sistem pendidikan yang pada
awalnya kedudukan Audiovisual dimanfaatkan untuk kepentingan pengajaran di
kelas pada saat guru mengajar, berubah dengan menempatkan teknologi pendidikan
berada dan memberi kontribusi di dalam proses pengembangan kurikulum. Dasar
asumsinya bahwa perancangan kurikulum dan tahap pengembangannya menjadi sumber
penetapan strategi pembelajaran yang mencakup taktik dalam penyelenggaraan
pembelajaran. Di samping itu kedudukan guru tidak hanya penentu model
pengajaran yang akan digunakannya, akan tetapi ia pun sebagai bagian dari
perekayasa dalam penyelenggaraan pembelajaran.
5. Fase Penyempurnaan Konsep
Pengakuan bahwa teknologi
pembelajaran menjadi bagian dari teknologi pendidikan sebagaimana diungkapkan
dalam definisi 1977 menjadi kajian yang serius di lingkungan ahli-ahli
pendidikan, sehingga melahirkan dua kelompok yang memiliki argumentasi
masing-masing. Kelompok yang menggunakan istilah teknologi pembelajaran
mendasarkan atas dua alasan, yaitu: pertama, kata pembelajaran lebih sesuai
dengan fungsi teknologi; kedua, kata pendidikan lebih sesuai untuk hal-hal yang
berhubungan dengan sekolah atau lingkungan pendidikan. Kelompok ini beranggapan
bahwa kata pendidikan digunakan untuk setting sekolah, sedangkan pembelajaran
memiliki cakupan yang luas, termasuk situasi pelatihan. Para ahli yang lebih
setuju dengan istilah teknologi pendidikan tetap bersikukuh bahwa kata
pembelajaran (instruction) diakui sebagai bagian dari pendidikan, sehingga
sebaiknya digunakan peristilahan yang lebih luas (AECT, 1977).
Kedua kelompok kelihatannya
bersikukuh dengan pendapatnya, namun ada juga kelompok yang menggunakan kedua
istilah tersebut digunakan secara bergantian, hal ini didasarkan atas alasan-alasan:
(a) dewasa ini istilah teknologi pembelajaran lazim digunakan di Amerika
Serikat, sedangan teknologi pendidikan digunakan di Inggris dan Kanada; (b)
mencakup banyaknya pemanfaatan teknologi dalam pendidikan dan pengajaran; (c)
perlu menggambarkan fungsi teknologi dalam pendidikan secara lebih tepat; dan
(d) dalam satu batasan dapat merujuk baik pada pendidikan maupun pembelajaran.
Didasarkan atas penggunaan kedua istilah tersebut, maka istilah "teknologi
pembelajaran" digunakan dalam definisi 1994 (Seels and Richey, 1994:5).
Barbara B. Seels dari
University of Pittsburg dan Rita C Richey dari Wayna State University keduanya
dari komisi termonologi AECT mengembangkan definisi teknologi pembelajaran
beserta kawasannya. Menurutnya bahwa teknologi pembelajaran adalah teori dan
praktek dalam disain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan dan penilaian
proses dan sumber untuk belajar. Definisi tersebut memiliki komponen-komponen:
1) teori dan praktek; 2) desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan dan
penilaian; 3) proses dan sumber; dan 4) untuk kepentingan belajar.
Komponen teori dan praktek
menunjukkan bahwa teknologi pembelajaran memiliki landasan pengetahuan yang
didasarkan atas hasil kajian melalui riset dan pengalaman. Teori ditunjukkan
oleh adanya konsep, konstruk, prinsip, dan proposisi yang memberi sumbangan
terhadap keluasan pengetahuan. Sedangkan praktek merupakan penerapan
pengetahuan tersebut dalam setting pembelajaran tertentu, terutama dalam
memecahkan masalah belajar. Dalam pembelajaran kita memahami bahwa teori-teori
yang digunakan pada hakekatnya menurunkan dari teori-teori yang dikembangkan
oleh ilmu murni, seperti psikologi yang diturunkan ke dalam teori belajar,
adanya komunikasi pembelajaran, dan pengelolaan pembelajaran serta ilmu-ilmu
lainnya. Sedangkan dalam praktek pembelajaran ditunjukkan oleh penurunan
konsep-konsep pengetahuan sesuai dengan kondisi serta karakteristiknya, sebagai
contoh kondisi dan karakteristik peserta didik, bahan belajar, sarana dan
fasilitas.
Komponen disain, pengembangan,
pemanfaatan, pengelolaan, dan penilaian merupakan komponen sistem pengelolaan
dalam pembelajaran. Setiap komponen memiliki teori dan praktek yang khusus dan
memiliki keterkaitan secara sistimatis dengan bagian-bagian lainnya, baik sebagai
masukan maupun umpan balik dan penilaian. Tahapan-tahapan tersebut merupakan
tahapan pengelolaan pembelajaran yang di dalamnya memiliki aktifitas kegiatan
masing-masing.
Komponen proses dan sumber
dimaksudkan dengan serangkaian kegiatan yang memanfaatkan sumber belajar untuk
mencapai hasil belajar. Proses dan sumber memiliki keterkaitan dengan komponen
pengelolaan pembelajaran di atas. Melalui komponen proses ini maka dianilisis
dan ditetapkan kegiatan-kegiatan yang tepat dan sistematis melalui pemanfaatan
sumber belajar yang telah diputuskan untuk mencapai tujuan pengajaran yang
telah ditetapkan.
Komponen belajar dimaksudkan
bahwa program pembelajaran yang dirancang pada hakekatnya ditujukan untuk
terjadinya belajar pada diri peserta didik, sehingga masalah belajar yang
dimilikinya dapat terpecahkan. Oleh karena itu, kejelasan kebutuhan belajar
yang akan dipecahkan oleh suatu program pembelajaran perlu diidentifikasi
secara definitif terlebih dahulu, yang pada akhirnya hal tersebut menjadi salah
satu kriteria dari keberhasilan program pembelajaran yang dikembangkan.
6. Rancangan Definisi 2004
Konsep definisi teknologi
pendidikan mendapatkan kajian secara terus menerus dan selalu dikritisi para
ahli terutama yang tergabung dalam AECT, hal ini sesuai dengan perkembangan
pendidikan termasuk pembelajaran dan yang lebih khusus kondisi dan
karakteristik peserta didik serta komponen pembelajaran lainnya. AECT
merumuskan definisi teknologi pendidikan versi bulan juni 2004 yang termasuk
masih prematur dan dilemparkan kepada seluruh masyarakat yang terkait dengan
pendidikan melalui media internet. Pernyataan yang disampaikan bahwa definisi
ini merupakan pre-publication dari bab awal buku yang akan dipublikasikan AECT.
Isi informasinya hanya untuk mahasiswa, studi dan reviu, dan tidak
diperkenankan untuk diproduksi terlebih dahulu.
Konsep definisi versi 2004
adalah sebagai berikut: Teknologi pendidikan adalah studi dan praktek yang etis
dalam memberi kemudahan belajar dan perbaikan kinerja melalui kreasi, penggunaan,
dan pengelolaan proses dan sumber teknologi yang tepat. Kalau dianalisis, di
dalam definisi tersebut terkandung beberapa elemen berikut: 1) studi; 2)
praktek yang etis; 3) kemudahan belajar; 4) perbaikan kinerja; 5) perbaikan
kinerja; 6) kreasi, penggunaan, dan pengelolaan; 7) teknologi yang tepat; dan
8) proses dan sumber.
Istilah studi yang digunakan
dalam definisi tersebut merujuk pada pemaknaan studi sebagai usaha untuk
mengumpulkan informasi dan menganalisisnya melebihi pelaksanaan riset yang tradisional,
mencakup kajian-kajian kualitatif dan kuantitatif untuk mendalami teori, kajian
filsafat, pengkajian historik, pengembangan projek, kesalahan analisis, analisa
sistem, dan penilaian. Studi dalam teknologi pendidikan telah berkembang
terutama dalam kaitannya dengan pengembangan model pembelajaran, efektifitas
kedudukan media dan teknologi dalam pelaksanaan pembelajaran, dam penerapan
teknologi dalam perbaikan belajar. Kajian mutakhir banyak difokuskan pada
penempatan posisi teori belajar, managemen informasi, dan perkembangan
pemanfaatan teknologi untuk memecahkan masalah belajar yang dihadapi peserta
didik. Istilah studi dalam definisi tersebut pada hakekatnya ditujukan untuk
memberi kemudahan belajar dan perbaikan kinerja belajar peserta didik melalui
kegiatan belajar yang memanfaatkan sumber belajar yang tepat.
Definisi tersebut mengarahkan
bahwa teknologi pendidikan memiliki praktek yang etis dalam memberikan
kemudahan belajar dan perbaikan kinerja belajar peserta didik. Maksud dari
praktek yang etis tersebut adalah adanya standar atau norma dalam mengkreasi
atau merancang, menggunakan, dan mengelola proses pembelajaran dan pemanfaatan
sumber belajar untuk kepentingan belajarnya peserta didik.
Dari definisi 2004 ini
tergambar bahwa adanya pergeseran gerakan teknologi pendidikan dari definisi
sebelumnya yaitu bahwa teknologi pendidikan atau teknologi pembelajaran sebagai
teori dan praktek, bahkan bidang kajian, menjadi studi dan praktek yang etis.
Hal ini mengarahkan perlu adanya kajian-kajian yang mendalam dan lebih tepat
sehingga diperoleh konsep-konsep dan praktek belajar sesuai dengan kepentingan
belajar setiap individu. Namun demikian, perubahan gerakan tersebut tidak
menyurutkan tujuan dari teknologi pendidikan yaitu memfasilitasi belajar dan perbaikan
penampilan belajar peserta didik dengan menggunakan berbagai macam sumber
belajar.
0 komentar:
Posting Komentar